Seperti diketahui Nabi Musa AS hidup sezaman dengan dua orang Firaun (gelar penguasa Mesir waktu itu), yaitu Firaun Ra Moseh II (Ramses) dari dinasti ke-19 (1292 - 1225) sebelum Miladiyah dan Firaun Merne Ptah (1225 - 1221) sebelum Miladiyah, anak Firaun Ra Moseh II. Musa bersaudara angkat dengan Merne Ptah yang ditenggelamkan Allah di Laut Merah beserta dengan bala tentaranya yang mengejar rombongan Bani Israil yang hijrah dari Mesir di bawah pimpinan Nabi Musa AS. Mengapa Merne Ptah bersaudara angkat dengan Musa, oleh karena permaisuri Firaun memungut Musa yang masih bayi dari pinggir sungai Nil. Ibu Musa mendapat wahyu dari Allah SWT untuk menghanyutkan anaknya yang masih bayi. Dengan demikian Musa yang masih bayi itu luput dari pembunuhan, karena waktu itu Firaun menitahkan membunuh semua bayi laki-laki Habiru (maksudnya Bani Israil) yang baru lahir. "yudzabbihuuna abnaaa'akum wa yastahyuuna nisaaa'akum" (S. Al-Baqarah: Ayat 49). Mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu dan mereka membiarkan hidup anak-anak perempuanmu.
Akhirnya Musa mengetahui bahwa ia bukanlah anak istana melainkan dari keturunan Israil. Musa melarikan diri dari Mesir setelah membunuh seorang Mesir yang menyiksa seorang Bani Israil. Walaupun Musa belumlah diangkat menjadi Nabi, akan tetapi Allah menuntunnya dengan memberikan ilham kepada Musa ke mana ia mesti pergi. Musa pergi ke Sinai dan akhirnya menjadi menantu Nabi Syu'aib AS, keturunan dari Midyan, anak Nabi Ibrahim AS dari isteri yang ketiga Sitti Katurah. Setelah Musa diangkat menjadi Rasul oleh Allah SWT, Nabi Musa AS bersama dengan saudaranya Nabi Harun AS diutus oleh Allah SWT kepada Firaun Merne Ptah. Tugas utamanya ialah membawa seluruh umat Bani Israil yang tertindas itu hijrah dari Mesir. Sementara dalam proses persiapan hijrah itu terjadilah dialog seperti berikut.
"waidzqa-la muusaa liqaumihii innallaha ya'murukum an tadzbahuu baqarah" (S. Al-Baqarah: Ayat 67), ingatlah tatkala Musa berkata kepada kaumnya sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyembelih baqarah..
Perintah Allah SWT kepada Bani Israil untuk menyembelih al baqarah itu sesungguhnya adalah dalam rangka persiapan mental, membersihkan akidah umat Nabi Musa AS itu dari khurafat dan kemusyrikan yang merasuk ke dalam komunitas Bani Israil, yang berasal dari pengaruh penguasa meraka yaitu orang Mesir yang memandang suci binatang al baqarah.
Mereka tidak dengan segera mengambil seekor baqarah lalu terus menyembelihnya, melainkan mempersulit diri dengan mengemukakan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu.
"qa-luud'u lanaa rabbaka yubayyil lanaa ma hiy" (S. Al-Baqarah: Ayat 68), mereka berkata: tanyakanlah kepada Tuhanmu untuk menjelaskan apa (ciri-ciri) baqarah itu. Maka dalam ayat yang sama Nabi Musa AS menjelaskan ciri-ciri sapi itu. "innahuu yaquulu innahaa baqaratul laa faaridhuw wa laa bikr 'awaanum baina dzalik", sesungguhnya (Allah) berkata: bahwa baqarah itu tidak tua dan tidak muda, pertengahan di antara keduanya.
Mereka masih belum puas, masih ingin mendapatkan penjelasan yang lebih tuntas.
"qa-luud'u lanaa rabbaka yubayyil lanaa maa launuhaa" (S. Al-Baqarah: Ayat 69), mereka berkata: tanyakanlah kepada Tuhanmu untuk menjelaskan apa warnanya, maka dijelaskan kepada mereka itu pula dalam ayat yang sama: "innahuu yaquulu innahaa baqaratun shafraa'u faaqi'ul launuhaa tasurrun-naazhiriin", sesungguhnya (Allah) berkata bahwa baqarah itu kuning tua warnanya, menggirangkan hati orang yang melihatnya.
Mereka masih belum puas juga mereka ingin mempersulit diri lebih lanjut:
"qa-luud'u lanaa rabbaka yubayyil lanaa maa hiya innal-baqara tasyaabaha 'alainaa (S. Al-Baqarah: Ayat 70), mereka berkata: tanyakanlah kepada Tuhanmu untuk menjelaskan apa (lagi ciri-ciri) baqarah itu, sesungguhnya al baqarah itu masih belum jelas bagi kami.
Maka kepada mereka itu dijelaskan oleh Nabi Musa AS lebih lanjut ciri-ciri baqarah itu, sehingga hampir-hampir mereka tidak dapat memperoleh baqarah dengan tambahan ciri-ciri yang mereka minta itu:
"innahuu yaquulu innahaa baqaratul laa dzaluulun tusiirul-ardha wa laa tasqil-hartsa, musallamatul laa syiyata fiihaa" (S. Al-Baqarah: Ayat 71), sesungguhnya (Allah) berkata: sesungguhnya baqarah itu bukan yang telah patuh membajak bumi, dan bukan pula menyirami ladang, selamat (belum pernah membawa beban), tidak belang warnanya sedikitpun.
Dari dialog itu dapat dipetik pelajaran yang sangat berharga dalam kehidupan ini, baik dalam kehidupan orang seorang, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sikap cerewet, banyak cincong, berlebihan tingkah, terjun menelusuri suatu urusan yang sesungguhnya tidak perlu, akan menimbulkan kesulitan terhadap diri sendiri. Sebaliknya sikap membiarkan suatu urusan tanpa banyak cincong tidak akan menimbulkan ekses, sehingga lebih mempermudah kehidupan diri sendiri, kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sikap yang demikian itu akan menghasilkan kinerja yang tinggi. Wallahu a'lamu bishshawab.

No comments:
Post a Comment